Daewoo dan Samsung dituding terlibat “menghabisi” hutan Papua

Tabloid Jubi| 16 Agustus 2017

Daewoo dan Samsung dituding terlibat “menghabisi” hutan Papua

Medium_45hutan-merauke
Pembersihan lahan hutan milik anak perusahaan Korindo, PT Papua Agro Lestari di sekitar wilayah Merauke dan Boven Digoel Papua. Foto: Januari 2017 - Mighty Earth
Dua perusahaan terkenal di dunia, Samsung dan Daewoo dituding terlibat dalam deforestasi di Papua. Bersama Korindo Group, dua perusahaan asal Korea Selatan ini melalui anak-anak perusahaan mereka yang berbadan hukum Indonesia maupun Singapura telah mengurangi hutan primer di Papua untuk perkebunan kelapa sawit, menyalahgunakan hak dan mata pencaharian masyarakat lokal dan dalam beberapa kasus, membakar kayu yang ditebang untuk membersihkan lahan hutan tropis - sebuah praktik ilegal menurut hukum Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini memainkan peran utama dalam menghancurkan ekosistem unik Papua.

Korea Exposé, media di Korea Selatan baru-baru ini merilis laporan tentang keterlibatan perusahaan-perusahaan asal Korea ini. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan seorang bekas karyawan sebuah perusahaan Korea yang cukup besar di Papua. Narasumber yang disebut bernama “PL” ini mengaku dia sebelumnya adalh "seorang kaki tangan" kerusakan lingkungan. Ia bersedia diwawancarai oleh Korea Exposé dengan syarat tidak disebutkan namanya.

Laporan ini menjelaskan beberapa anak perusahaan dari chaebol terkemuka Korea Selatan termasuk POSCO (Daewoo) dan Samsung, ditambah konglomerat Korindo Group, telah mengurangi hutan tropis di Papua untuk perkebunan kelapa sawit, menyalahgunakan hak dan mata pencaharian masyarakat lokal dan dalam beberapa kasus, membakar kayu yang ditebang untuk membersihkan lahan hutan tropis Papua - sebuah praktik ilegal menurut hukum Indonesia.

Dalam penuturannya kepada Korea Exposé, PL menggambarkan sebuah praktek dimana pemerintah Indonesia memberikan konsesi kepada perusahaan sementara di sisi lain acuh tak acuh mengikuti undang-undang setempat yang mengatur tentang posisi penduduk asli di lahan hutan yang menjadi konsesi tersebut.

"Undang-undang di Indonesia menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki izin resmi untuk mengembangkan sumber daya hutan harus memberikan kompensasi kepada penduduk asli di lahan konsesi, membangunnya untuk perumahan dan mempekerjakan mereka sebagai pekerja, dan juga memberi mereka 20 persen konsesi untuk pertanian bagi diri mereka sendiri," jelas PL.

Namun pembayaran kompensasi untuk konsesi seluas 40.000 hektar, menurut PL seharusnya sekitar 100.000 dolar AS. Faktanya, pengusaha hanya membayar penduduk lokal sekitar 30.000 dolar. PL menyebutkan nama seorang pengusaha Korea yang kemudian menjadi pengusaha Indonesia yang memiliki rekam jejak panjang dalam dalam mendapatkan konsesi hutan tropis dan melakukan penebangan kayu, termasuk yang dimiliki oleh perusahaan raksasa Daewoo dan Korindo.

Medium_deforestation-business-plan
deforestation business plan

PL juga menunjukkan cuplikan video Korea Exposé berupa sebuah upacara tradisional di sebuah kampung terpencil, di mana seorang perwakilan Korindo bertemu dengan para tetua adat kampung untuk melakukan kesepakatan penyerahan tanah dengan darah ayam yang disembelih.

Franky Samperante, pendiri dan direktur Yayasa Pusaka Indonesia, menguatkan pernyataan PL bahwa Korindo dan Daewoo telah melanggar janji "kemakmuran, pemberdayaan ekonomi, pekerjaan, fasilitas pendidikan, pembagian keuntungan dan sebagainya."

"Korindo dan Daewoo tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat tentang rencana bisnis mereka, (dan ada) banyak manipulasi informasi tentang hak atas tanah dan pembagian keuntungan kompensasi," kata Samperante.

Pria yang sering dipanggil Angky ini mengatakan perusahaan memang berjanji dan memberi uang, namun kehadiran aparat keamanan membuat penduduk asli terpaksa melepaskan hak mereka dan menandatangani kontrak. Selain itu, menurutnya perusahaan Korea ini menggunakan nama Indonesia dan berbadan hukum di Indonesia dan Singapura.

“Sedikit yang di Korea. Kalau pakai alamat mereka di Korea, kawan-kawan di Korea akan bawa mareka ke pengadilan disana,” ujarnya.

Menurut Angky, modus yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan Daewoo itu adalah mereka bertindak sebagai produsen dan pedagang produk yang dihasilkan Korindo.

Saat ini, untuk mengurangi dampak negatif praktek seperti ini, kelompok aktifis lingkungan di Indonesia, menurutnya aktif berkampanye meminta pemerintah menghentikan pemberian izin baru logging dan sawit, juga tidak menambah pembukaan hutan untuk lahan sawit.                       

“Kami juga kampanye mempengaruhi pasar internasional atas perusahaan yang melanggar HAM dan lingkungan,” jelasnya.

Respon perusahaan Korea dan komplain masyarakat adat
POSCO-Daewoo dalam menanggapi tuduhan perusakan hutan tropis di Papua ini memberikan referensi  laporan lingkungan dan sosial PT Bio Inti Agrindo (BIA) pada 2016 kepada Korea Exposé. Namun laporan tersebut tidak menyebutkan tentang hutan primer atau perawan yang dikuasai PT BIA, hanya menyatakan bahwa kode etik perusahaan mencakup "melindungi Kawasan Konservasi Tinggi (HCVA) dan berusaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati."

"Selain itu, kami berencana untuk melanjutkan dengan deliniasi HCVA dengan spesialis untuk membedakan zona HCVA dengan jelas di lokasi operasi," tulis laporan tersebut walaupun bukti menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah menghabisi setidaknya 10.000 hektar hutan primer sejak tahun 2012. Laporan tersebut juga mengklaim bahwa PT BIA tidak terlibat dalam pembakaran dan menjalankan prinsip " free, prior and informed consent " bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat sebelum mulai bekerja di konsesi Papua.
 

Tudingan terhadap perusahaan-perusahaan Korea ini tak hanya berlaku untuk Papua saja. Di Sumatra, anak perusahaan Samsung, Samsung C&T pernah mendapatkan kritik keras dari Korean Transnational Corporations Watch (KTNC Watch), sebuah koalisi LSM dan Kelompok lain, dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Public Interest Law (APIL) pada bulan Desember 2016 karena dampak negatif yang ditimbulkan perusahaan ini pada hak asasi manusia pekerja dan anggota masyarakat setempat.

Dampak negatif tersebut dialami juga pada pekerja anak. Mereka terkontaminasi bahan kimia beracun selain kondisi kerja, kontrak kerja dan kondisi kehidupan yang buruk. Penduduk asli setempat sangat dirugikan karena mengalami kekurangan air akibat saluran irigasi perkebunan dan polusi air yang terjadi karena penghidupan berbasis hutan mereka terancam. Selain itu penduduk setempat juga sering menghadapi perselisihan tanah dan pembayaran suap oleh Samsung C&T untuk merusak tatanan kesatuan masyarakat setempat.

Namun Samsung C & T mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengatakan, "Materi yang diterbitkan oleh Public Interest Law (APIL) tersebut didasarkan pada klaim sepihak dari beberapa penduduk setempat dan sedikit berbeda dari yang sebenarnya. Perusahaan menekankan bahwa pihaknya terus berupaya menciptakan tempat kerja yang aman dan ramah lingkungan.”

Perwakilan Korindo mengirim jawaban atas daftar pertanyaan Korea Exposé yang secara terpisah membahas tuduhan dari laporan tersebut. Mereka menegaskan tidak membangun di daerah hutan tropis perawan dan menambahkan bahwa hanya menggunakan lahan untuk kelapa sawit yang telah dikategorikan untuk pembangunan oleh pemerintah Indonesia. Perusahaan ini pun membantah telah melakukan pembakaran hutan untuk memmbersihkan lahan dan bahwa semua proses hukum telah diikuti dalam mencapai kesepakatan dengan pemilik lahan.

Pada tanggal 9 Agustus lalu, para pemimpin masyarakat adat Papua menyelenggarakan sebuah konferensi pers di Merauke untuk menghormati Hari Internasional Masyarakat Adat. Konferensi pers ini menggambarkan aktivitas kebijakan dan investasi hanya didasarkan pada investasi, teknologi, dan organisasi modern yang padat modal, sebuah model yang selama ini terlihat sebagai praktek untuk mengabaikan hak-hak penduduk asli Papua.

Konferensi pers juga merupakan upaya masyarakat untuk membuat catatan secara langsung mengenai pertemuan pemangku kepentingan baru-baru ini tentang pengembangan kelapa sawit di Papua, yang diadakan di Jakarta, dengan pemerintah daerah dan Korindo Group. Para pemimpin masyarakat adat merasa dimanipulasi, seolah-olah pandangan mereka terwakili.

Kepala kampung Nakias, Melkior Wayoken, menduga bahwa manipulasi telah terjadi untuk menghasilkan pernyataan yang mendukung perusahaan tersebut. Beberapa individu telah mengklaim diri mereka untuk mewakili masyarakat adat dan pemerintah kampung di desa Nakias, Tagaepe dan Yalhak. Menurut Melkior, satu orang telah menyamar sebagai kepala kampung dan menandatangani sebuah pernyataan, lalu menggunakan cap pemerintah desa.

“Pernyataan itu dibuat tanpa sepengetahuan saya, meski saya adalah kepala kampung dan kemudian mereka bergabung dengan Bupati Merauke dan Boven Digoel dalam perjalanan mereka ke pertemuan di Jakarta. Baru kemudian saya mendengar mereka menandatangani surat yang mengaku sebagai pemerintah kampung,” ungkap Melkior.

Media Korea Selatan bungkam
Sepak terjang perusahaan-perusahaan Korea Selatan dalam menghabisi hutan tropis di Papua ini nyaris tidak menjadi perhatian media-media di Korea Selatan. Kim Jong-chul, seorang pengacara APIL dan seorang penulis laporan KTNC Watch's 2016 tentang kegiatan Samsung C & T di Sumatra, mengatakan kepada Korea Exposé  bahwa media Korea Selatan tertarik pada perusahaan – perusahaan Korea di luar negeri yang menghasilkan uang dan mereka (media-media Korea) tidak peduli bagaimana caranya."

Laporan KTNC yang dibuat Kim menyoroti kepedulian pemerintah Korea Selatan untuk melindungi warga negara asing dari pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan Korea Selatan, dengan mengatakan bahwa "kantor pemerintah Korea Selatan di Indonesia tampaknya benar-benar mengabaikan peran pemantauan dan perlindungan ini."

"Media Korea Selatan hampir tidak melaporkan hal ini," kata Kim.

Lanjutnya, banyak negara sekarang memiliki rencana aksi nasional secara khusus mengenai pelaksanaan perusahaan mereka di luar negeri. Dari perspektif internasional, pemerintah Korea Selatan jelas memiliki tugas untuk melindungi warga asing, dari tindakan perusahaan Korea Selatan.

Jika pemerintah Korea Selatan gagal bertindak, semakin banyak masyarakat lokal di Papua akan menjadi korban perusahaan dan semakin banyak pula spesies akan dimusnahkan dan hilang dari muka bumi.

Meski demikian, PL beranggapan masalahnya lebih besar ada pada pemerintah Korea Selatan, karena pemerintah tidak tahu apa yang sedang terjadi pada penduduk asli Papua yang lahan hutannya mereka ambil.

"Anda tidak bisa menghentikan deforestasi di Indonesia karena ini menghasilkan uang bagi pejabat pemerintah Indonesia, memperluas pembangunan [ekonomi] Papua dan menghasilkan uang untuk orang Korea. Pemerintah Korea bahkan tidak tahu apa yang terjadi," katanya. (*)

Artikel ini ditulis berdasarkan laporan Ben Jackson yang diterbitkan Korea Exposé pada 13 Agustus 2017

 

  • Sign the petition to stop Industria Chiquibul's violence against communities in Guatemala!
  • Who's involved?

    Whos Involved?


  • 13 May 2024 - Washington DC
    World Bank Land Conference 2024
  • Languages



    Special content



    Archives


    Latest posts