'Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa' – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua
BBC | 19 Juni 2025
Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa' – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua

Oleh Raja Eben Lumbanrau

Solidaritas Merauke menilai pemerintah Indonesia telah membantah informasi dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang terjadi, bantahan tanpa realitis empirik sebab peristiwa hingga saat ini masih terjadi. Sekelompok perwakilan masyarakat adat yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan, mendesak pemerintah Indonesia mengizinkan sembilan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) datang ke Papua.

Menurut mereka, kedatangan pelapor khusus PBB penting untuk melihat secara langsung terjadinya dugaan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM dalam program Food Estate tersebut.

"Kami minta PBB datang lihat langsung bagaimana hutan kami, hak kami, kehidupan kami direbut secara paksa," kata Rufina Gebze dalam konferensi pers Solidaritas Merauke di Kantor PGI, Jakarta, Selasa (17/06).

Rufina bercerita seluruh kampungnya di Onggari, Distrik Malind, Merauke, akan menjadi ladang tebu sebagai bagian dari PSN Merauke. Dia dan seluruh warga di kampungnya hanya disisakan lahan seluas satu hektare, klaim Rufina. 

Selain itu, Vincen Kwipalo dari masyarakat adat Yei Nan, Aloysius Buja dari Wambon, dan Julius Tenot dari masyarakat adat Muyu, juga mengalami hal yang sama. 

Saat dikonfirmasi terkait permintaan itu, Menteri HAM Natalius Pigai tak menjawab secara spesifik dan mengatakan "kami sedang mendorong pembangunan dan pengelolaan usaha berbasis HAM". 

Upaya ini, kata Natalius, akan ditempuh melalui berbagai kebijakan dan regulasi, yakni dengan menyiapkan instrumen hukum tentang bisnis dan HAM yakni: perpres, inpres, permen dan petunjuk teknis dan pelaksanan.

Sebelumnya, sembilan pelapor khusus PBB telah mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia dan perusahaan PT Global Papua Abadi, yang terlibat dalam PSN Merauke pada 7 Maret 2025.

Dalam suratnya, mereka meminta tanggapan dari kedua pihak atas dugaan dampak pelanggaran HAM dan lingkungan hidup dalam pengembangan PSN Merauke.

Pemerintah Indonesia telah membalas surat itu pada 6 Mei 2025, yang isinya membantah dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi. Namun, menurut Solidaritas Merauke, pihak perusahaan tak kunjung memberikan responsnya.

Pada 2023, pemerintah menetapkan Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan memasukkannya ke dalam daftar PSN.

Kawasan ini rencanannya akan menjadi sumber produksi padi, tebu, dan komoditas fleksibel lainnya di atas lahan seluas kurang lebih dua juta hektare, di lokasi yang menjadi rumah bagi masyarakat adat Malind, Yeinan, Maklew, Khimaima, dan Yei.

'Tanah kami dirampas, disisakan satu hektare'

Rufina Gebze, 47 tahun, adalah perempuan dari masyarakat adat Marind Anim, suku terbesar di Papua bagian selatan.

Sejak lahir, Rufina menggantungkan seluruh hidupnya pada kekayaan hutan di kampung halamannya di Onggari, Distrik Malind, Merauke.

Rufina bercerita, hutan menyediakan makanan, minuman, dan obat-obatan bagi dirinya dan sekitar 200 kepala keluarga di kampungnya.

Namun Rufina mengaku kini hatinya terguncang. Kehidupan masyarakat di kampungnya yang damai berubah menjadi ketakutan dalam setahun terakhir.

Hutan yang menjadi urat nadi kehidupan mereka terancam musnah imbas pengembangan PSN Merauke. 

Dia pun melepaskan perannya sementara sebagai ibu dari empat anak untuk terbang ke Jakarta.

"Saya ke Jakarta karena hak ulayat saya, tanah dan hutan leluhur di kampung saya di Onggari akan dihancurkan,"kata Rufina pada Selasa (17/06).

Rufina bercerita, ketakutan itu berkecamuk saat dirinya dan warga kampung Onggari melihat sebuah peta, yang memasukkan hutan dan tanah mereka dalam proyek penanaman tebu.

"Di peta semua jadi lahan tebu. Untuk kami hanya satu hektare, lain itu punya perusahaan. Tanah kami dirampas, dan disisakan hanya satu hektare," kata Rufina. 

Di kampung tempatnya tinggal, ujar Rugina, ada lebih dari 200 kepala keluarga yang menetap di kampungnya.

Rufina mengaku, pihak perusahaan setidaknya telah empat kali datang ke kampungnya untuk melakukan sosialisasi progam itu.

"Tapi kami semua dari yang tua hingga muda menolak semua. Kami tidak mau. Kalau kami orang tua sudah lepas ikut tanah, kasian generasi penerus kami, nanti anak cucu kami mau kemana," katanya.

Dia menjelaskan, hutan adalah jantung kehidupan bagi masyarakatnya. Hutan menyediakan sumber makanan, minuman, obat-obatan, hingga ritual adat sakral.

"Merusak hutan sama saja dengan membunuh kami," katanya.

Untuk itu, Rufina menyerukan agar sembilan pelapor khusus PBB datang langsung ke Merauke melihat dampak dari pelaksanaan PSN.

"Kami minta PBB datang lihat langsung. Bagaimana hutan kami, hak kami, kehidupan kami direbut secara paksa," katanya.

Hal senada juga diungkapkan Yasinta Gebze, perempuan Marind-Anim yang tanahnya disebut diserobot paksa untuk PSN.

Di wilayah adatnya, Yasinta mengatakan, 10 tempat milik masyarakat adat—mulai dari hutan, kebun, hingga situs sakral—telah digusur.

"Kami merasa kehilangan semua. Kehilangan alam, kehilangan hewan, kehilangan air. Ikan sudah tidak ada lagi, hewan-hewan seperti rusa, babi, kanguru, kasuari sudah lari jauh, tidak tahu kemana," kata Yasinta.

Yasinta kemudian menceritakan bahwa dirinya dan warga masyarakat adat sudah melakukan pendekatan dengan pihak perusahaan dan pemerintah, "tapi mereka tidak respon, mereka berdiam diri."

"Kami tidak butuh uang, kami butuh tanah kami kembalikan," tegas Yasinta.

Permintaan yang sama juga disampaikan Vincen Kwipalo dari masyarakat adat Yei Nan. 

Vincen berasal dari kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob—wilayah yang masuk dalam proyek pengembangan tebu dan bioethanol.

"Kami sebetulnya mengharapkan bahwa lebih baik dari PBB turun di Papua, biar mereka yang lihat sendiri," katanya.

Johnny Teddy Wakum dari Ketua LBH Pos Merauke mengatakan perampasan paksa seperti yang dialami Vincen dan Yasinta, juga dialami Aloysius Buja dari Suku Wambon, Julius Tenot dari Muyu, dan banyak warga adat lainnya.

"Kemarin 75 keluarga datang mengadu kepada Solidaritas Merauke karena terancam digusur," kata Teddy.

"Kami minta PBB harus turun untuk menyaksikan secara langsung kehancuran yang terjadi."

Teddy mengatakan, Solidaritas Merauke telah mendatangi banyak kampung yang terdampak PSN Merauke, di antaranya adalah Kampung Slou di Distrik Muting, Kampung Yawimu dan Yomop di Distrik Ngguti, dan empat kampung di Distrik Okaba. 

Selain itu, tiga kampung di Distrik Tubang dan beberapa tempat di Distrik Ilyawab juga didatangi.

"Mirisnya, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ini proyek apa, investasi apa. Tidak ada proses konsultasi, tidak ada keterbukaan informasi kepada masyarakat," kata Teddy.

PSN Merauke rencananya akan mencakup lebih dari dua juta hektare, yang terdiri atas lima klaster dan tersebar di 13 distrik.

Lebih dari 630.000 hektare akan diubah jadi lahan tebu, pengolahan gula dan produksi bioetanol. Lalu lebih dari satu juta hektare akan menjadi lahan sawah dan perkebunan tanaman adaptif.

Sorotan sembilan pelapor khusus PBB

Sembilan pelapor khusus PBB—yang membidangi hak atas pangan, HAM, budaya, lingkungan, air, hingga perempuan dan anak—telah menyurati pemerintah Indonesia dan perusahaan PT Global Papua Abadi yang terlibat dalam PSN Merauke, pada tanggal 7 Maret 2025 silam.

Dalam surat itu, pelapor khusus PBB menyoroti pihak perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran hak-hak masyarakat adat akibat PSN Merauke.

Dugaan yang dilaporkan seperti pelanggaran serius terhadap hak-hak komunitas terdampak, termasuk hak atas pangan, air, kesehatan, gizi, kebudayaan dan tradisi, serta lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

"Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terdampak dalam situasi ini," tulis pelapor khusus PBB dalam suratnya.

"Kami juga menerima laporan bahwa komunitas adat menghadapi intimidasi dan kriminalisasi seiring dengan kehadiran militer yang mendampingi perusahaan dalam proses pembukaan lahan hutan."

Dalam penutupnya, sembilan pelapor khusus PBB meminta pemerintah Indonesia dan perusahaan memberikan penjelasan atas dugaan itu, yang terangkum dalam delapan poin.

Di antaranya adalah seperti memberikan informasi tentang "kebijakan dan proses uji tuntas HAM yang telah diimplementasikan oleh perusahaan Anda untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan memperbaiki dampak negatif terhadap HAM yang timbul dari kegiatan perusahaan Anda".

Mereka juga meminta perusahaan menginformasikan langkah-langkah yang untuk menjamin adanya konsultasi yang bermakna dan dilandasi itikad baik dengan komunitas terdampak dalam rangka menilai dampak dari pengambilalihan lahan oleh perusahaan.

"Para pemimpin adat dan komunitas, dan pembela HAM di bidang lingkungan terus menghadapi ancaman dan kriminalisasi karena memperjuangkan hak-hak mereka," tulis surat itu.

Respons pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia melalui Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB, WTO, dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa memberikan jawaban atas surat sembilan pelapor khusus PBB pada 6 Mei 2025.

Dalam surat itu, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pengembangan PSN Merauke telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya terkait dengan tata guna lahan dan rencana tata ruang.

"Proyek ini berada dalam kawasan Hutan Produksi yang telah ditetapkan di Provinsi Papua Selatan, dan hingga saat ini belum ada permohonan dari pihak mana pun untuk mengklasifikasikan wilayah tersebut sebagai tanah adat," bunyi surat yang ditandatangani oleh Dubes Achsanul Habib, Kuasa Usaha ad Interim (KUAI) PTRI Jenewa.

Pemerintah pun menegaskan bahwa kepemilikan lahan PT Global Abadi, salah satu perusahaan yang terlibat dalam proyek ini, telah didukung secara hukum dengan Hak Guna Usaha (HGU).

Selain itu, dalam bunyi surat itu, perusahaan ini juga telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan dari Pemerintah Provinsi Papua sejak 2018 dan Izin Lingkungan dari Bupati Merauke sejak 2015.

Pemerintah juga mengeklaim perusahaan tersebut telah menjalin perjanjian kemitraan dengan masyarakat setempat untuk bersama-sama mengelola perkebunan tebu di beberapa wilayah desa.

"Konsultasi yang bermakna dengan masyarakat setempat merupakan prasyarat utama bagi perusahaan untuk memperoleh HGU, guna memastikan bahwa kepentingan dan hak-hak mereka sepenuhnya terpenuhi, dan penggunaan lahan sesuai dengan kepentingan masyarakat lokal dan hukum yang berlaku."

Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengeklaim telah memulai "dialog inklusif" dengan masyarakat setempat yang terdampak oleh proyek. 

Pemerintah juga mendorong mereka untuk melaporkan setiap dugaan intimidasi atau kekerasan, yang didukung dengan data atau bukti yang dapat diverifikasi. 

"Agar pihak berwenang yang relevan dapat melakukan tindak lanjut dengan penyelidikan dan langkah-langkah pemulihan yang tepat."

Dalam penutup surat itu, Achsanul Habib menegaskan kembali bahwa pemerintah Indonesia akan "terus berkomitmen secara maksimal dalam memajukan dan melindungi HAM" bagi seluruh rakyatnya. 

Dia juga mengatakan pemerintah mendorong kemajuan HAM secara global melalui keterlibatan konstruktif dengan mekanisme HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

'Tidak menjawab persoalan'

Akan tetapi, perwakilan masyarakat adat di Merauke menilai respons pemerintah Indonesia itu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

"Tidak betul, dia tipu. Tidak pernah kami diajak untuk sosialisasi," tegas Yasinta dari Suku Marind-Anim.

"Hari ini mereka masih penggusuran, masih bongkar hutan, masih kerja pancang tiang untuk darmaga," ujarnya kemudian.

Johnny Teddy Wakum dari LBH Pos Merauke memandang jawaban pemerintah Indonesia sama sekali tidak menjawab dugaan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Merauke.

"Cara ini mencerminkan sikap dan gaya pemerintah yang selalu dilakukan sejak Papua masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak menjawab persoalan inti," tegasnya.

"Hentikan cara-cara pembohongan seperti ini. Hari ini Papua dalam konteks politik masih bermasalah, kita tidak boleh lagi memperpanjang persoalan ketidakadilan yang sedang terjadi di Papua," katanya.

Teddy menegaskan penyerobotan tanah, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM masyarakat adat di Merauke sangat mudah terlihat dengan kasat mata.

Selain itu, koordinator LSM internasional GRAIN, Kartini Samon pun menyoroti pihak perusahaan yang tidak merespons surat dari sembilan pelapor khusus PBB itu.

"Hal ini juga menunjukkan bagaimana seakan ada pembiaraan dan impunitas terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia hari ini," kata Kartini.

Untuk itu, lanjutnya, Solidaritas Merauke meminta agar para pelapor khusus PBB ini melakukan pemantauan dan investigasi secara langsung di Merauke dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengizinkan kedatangan mereka.

Apa jawaban pemerintah?

Saat dikonfirmasi terkait desakan masyarakat adat dan Solidaritas Merauke, Menteri HAM Natalius Pigai mengeklaim "belum dengar kalau pelapor khusus datang terkait PSN di Merauke."

BBC News Indonesia kemudian menanyakan kembali pertanyaan yang sama: "Apakah pemerintah Indonesia akan mengizinkan pelapor khusus PBB itu masuk ke Merauke untuk melihat langsung pelaksanaan PSN?"

Natalius Pigai malah menjelaskan, "Kami sedang mendorong pembangunan dan pengelolaan usaha berbasis HAM melalui berbagai kebijakan dan regulasi". 

Upaya yang dilakukan, kata Natalius, yakni dengan menyiapkan instrumen hukum tentang bisnis dan HAM yang antara lain dalam bentuk perpres, inpres, permen dan petunjuk teknis dan pelaksanaan.

Natalius mengatakan pihaknya sudah menyiapkan pengganti dua peraturan, yakni Peraturan Presiden (Perpres) tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peraturan Menteri (Permen) tentang Gugus Tugas Bisnis dan HAM. 

"Kami sudah siapkan pengganti kedua aturan tersebut dengan yang baru dan lebih progresif," ujarnya dalam pesan singkat ke BBC News Indonesia.

Dia kemudian mengatakan bahwa Kementerian HAM juga telah memiliki instrumen bernama Prisma, yang pada masa datang akan menerapkan mandatori audit perusahaan dan menerapkan sanksi bagi mereka yang melanggar. 

"Tetapi itu mungkin 2026 atau 2027, setelah semua aturan dan sosialisasi ke perusahaan-perusahaan sudah berjalan," jelas Natalius. 

Dia melanjutkan, Kementerian HAM memiliki beberapa standar terkait pembangunan PSN yang harus dipatuhi.

"Izin harus pertisipasi masyarakat atau masyarakat yang mengijinkan. Tanah harus clean and clear," tegas Natalius. 

Masyarakat harus dilibatkan dalam usaha sebagai pekerja, ujarnya. Pelestarian nilai dan budaya juga tak kalah penting. 

"Usaha masyarakat yang sudah eksis harus diberi penguatan. Masyarakat untung dalam hal ini, kesejahteraan masyarakat perlu harus dapat di ukur," katanya. 

"Negara mesti untung dan perusahaan juga untung. Kelestarian alam harus diperhatikan."



URL to Article
https://farmlandgrab.org/post/32918
Source
BBC https://www.bbc.com/indonesia/articles/c5y7jx0rqe7o

Links in this article