PBB soal PSN Merauke, koalisi sebut respon pemerintah tak jujur
Mongabay| 22 Juni 2025

PBB soal PSN Merauke, koalisi sebut respon pemerintah tak jujur

oleh Themmy Doaly

Koalisi masyarakat sipil dan masyarakat adat yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, Papua Selatan, menyebut pemerintah berbohong pada Sembilan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (UN Special Procedure Mechanism) ihwal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan dampak lingkungan proyek tersebut.

Pemerintah Indonesia, melalui Achsanul Habib, Duta Besar, Deputi Wakil Tetap di PBB, dalam  surat 6 Mei 2025, menyatakan, PSN Merauke, Papua Selatan, sudah menerapkan berbagai peraturan dan mekanisme untuk meningkatkan pendaftaran tanah dan hutan adat masyarakat hukum adat juga memastikan pengelolaan dan penyelesaian sengketa lahan yang tepat. Koalisi masyarakat sipil dan masyarakat adat pun memaparkan kondisi sebaliknya.

Koalisi yang tergabung dalam Solidaritas Merauke ini menyebut, pemerintah berbohong pada sembilan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (UN Special Procedure Mechanism) ihwal pelanggaran HAM dan dampak lingkungan proyek  itu.

Surat itu merupakan respons atas surat 7 Maret  utusan PBB kirimkan. Mereka menyebut, seluruh proyek PSN Merauke yang mencakup lebih dari dua juta hektar, berada dalam wilayah masyarakat adat Malind, Yeinan, Maklew, Khimaima dan Yei. Proyek itu akan berdampak pada lebih dari 50.000 masyarakat adat yang tinggal 40 kampung di sekitar dan di dalam PSN.

“Bagi masyarakat Malind, kerusakan sangatlah menghancurkan, menghilangkan akses mereka terhadap makanan tradisional hutan dan mengganggu identitas budaya, sosial dan spiritual mereka,” tulis para pelapor khusus di surat itu.

PSN Merauke meliputi pengembangan perkebunan tebu, bersama dengan pendirian fasilitas pemrosesan gula dan produksi bioetanol, seluas 637.420 hektar. Proyek ini juga berfokus pada optimalisasi pertanian melalui mekanisasi, pembangunan saluran irigasi dan penyediaan alat dan mesin pertanian untuk mendukung kegiatan bertani di enam distrik.

Ada pula pengembangan komoditas baru dengan rencana pembangunan 1 juta hektar sawah dan perkebunan tanaman adaptif. Dalam pelaksanaannya, para pelapor khusus PBB bilang, PSN lebih mengutamakan investasi swasta dan agribisnis oleh perusahaan daripada hak-hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan.

“Penduduk di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, saat ini menghadapi tingkat kerawanan pangan yang parah, sebuah situasi yang terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir,” demikian kata para pelapor khusus PBB.

Pemerintah Indonesia juga mereka mereka duga memulai proyek dan mengeluarkan izin usaha pemanfaatan lahan dan hutan tanpa konsultasi, musyawarah, ataupun persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) dari masyarakat adat pemilik lahan.

Keterlibatan personel militer di Merauke juga jadi sorotan. Para pelapor khusus menilai, pasukan militer yang bertugas menjaga operasi pembukaan lahan telah mengintimidasi dan membungkam penentang.

Perusahaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan juga mereka duga mempekerjakan personel militer dan memanfaatkan fasilitas militer untuk sosialisasi proyek, pembebasan lahan, survei lokasi dan pengukuran lahan.

Pemerintah membantah laporan itu. Dalam suratnya, pemerintah memenyebut Kementerian ATR/BPN yang meluncurkan proyek percontohan di Papua, menerbitkan sertifikat hak pengelolaan tanah untuk masyarakat Sawoi Hnya di Kabupaten Jayapura, untuk tiga bidang tanah adat seluas 699,77 hektar.

“Sertifikat hak pengelolaan tanah ini menjadi alat administratif untuk memastikan batas-batas yang lebih jelas atas tanah adat dan mencegah pemanfaatan tanah adat oleh entitas lain tanpa persetujuan MHA.”

Selanjutnya, Pemerintah Merauke, juga baru-baru ini menerbitkan keputusan Bupati Merauke no 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 tentang pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak dan wilayah adat Suku Yei di Kabupaten Merauke, yang mencakup wilayah seluas 445.255,55 hektar.
Sisi lain, kepemilikan tanah GPA di Merakue telah tercakup dalam HGU yang merupakan dasar hukum utama penggunaan tanah dalam sistem pertanahan nasional. Pemerintah bilang prosesnya pun telah libatkan beberapa tahapan, termasuk konsultasi bermakna dengan masyarakat setempat.

Proses ini merupakan bagian dari uji tuntas untuk pastikan penggunaan lahan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat lokal dan hukum yang berlaku. Sedangkan, untuk lahan yang masih dalam sengketa, atau memiliki konflik yang belum terselesaikan, HGU-nya penerbitan HGU pemerintah tunda hingga ada penyelesaian masalah.

Terkait dugaan penyalahgunaan kawasan hutan untuk PSN, pemerintah nyatakan proyek ini berada di kawasan hutan produksi. “Hingga Maret 2025, Kementerian Kehutanan belum menerima permohonan untuk menetapkan kawasan hutan adat di Papua Selatan.”

Sementara dugaan intimidasi TNI terhadap MHA dan aktivis lingkungan, Pemerintah dalam suratnya, bilang, telah memerhatikan dengan seksama kekhawatiran dan rekomendasi Komnas HAM dalam surat 17 Maret 2025. Namun, selain laporan itu, hingga saat ini TNI belum menerima laporan langsung mengenai dugaan intimidasi yang dilakukan oleh personel mereka.

Mereka juga bilang penambahan atau perluasan komando daerah militer umumnya mempertimbangkan perluasan wilayah administratif baru dan potensi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari peningkatan sumber daya keuangan ke wilayah tersebut.

“Perlu dicatat, sesuai ketentuan hukum di Indonesia, TNI juga memiliki fungsi non militer seperti mendukung misi kemanusiaan, pencarian dan penyelamatan, serta membantu pemerintah daerah jika diperlukan.”

Jeritan masyarakat adat

Hadir di Jakarta untuk merespons surat pemerintah ini, Selasa (17/6/25), Perwakilan masyarakat adat menyebut pemerintah berbohong. Yasinta Moiwend, masyarakat adat Marind-Maklew, bilang, tidak pernah ada permintaan persetujuan ihwal kehadiran PSN di wilayahnya.

Bahkan, katanya, 10 area di wilayah adat mereka telah digusur. Padahal, di lokasi-lokasi itu mereka cari ikan di rawa, serta berburu hewan seperti babi dan rusa. Penggusuran wilayah adat juga berdampak pada habitat kanguru dan kasuari.

“Kami tidak butuh uang, kembalikan tanah-tanah kami. Ada 10 tempat yang sudah mereka gusur, termasuk tempat sakral, kebun juga,” kata Yasinta.
Pemerintah, katanya, tidak pernah melibatkan masyarakat adat sejak awal. Tidak pernah ada permintaan pendapat tentang kehadiran PSN di wilayah adat mereka. Hal itu juga terjadi ketika kapal Johnlin Group datang ke distrik Ilwayab, Kampung Wogikel. Masyarakat adat terkejut menyaksikan kapal tiba di pelabuhan.

Mereka pun sempat melakukan Aksi penolakan pada pemerintah daerah, Agustus 2024. Masyarakat Adat Marind-Maklew mewarnai tubuhnya dengan lumpur putih sebagai tanda duka.

“Tapi pemerintah tidak peduli. Mereka tidak tanggapi suara masyarakat, malah datangkan eskavator 300, langsung turun untuk penggusuran.”
Hubertus Kaize, Masyarakat Adat Marind-Anim mengatakan, kehadiran PT Borneo Citra Persada, perusahaan yang kerjakan proyek PSN di kampungnya, bikin masyarakat adat resah. Soalnya, kegiatan kerja perusahaan mengganggu aktivitas di desa maupun di laut.

Sebagai upaya pertahankan tanah, masyarakat membuat larangan adat Sasi dengan memasang kayu yang berbentuk salib merah. Namun, tanda larangan itu menurutnya tidak menghentikan laju pembangunan PSN. Tanah-tanah masyarakat adat tetap pemerintah gusur.

“Kami buat itu dua cara, dari adat secara sakral, tidak boleh diganggu siapapun. Kami juga buat secara gereja. Tetapi mereka selalu diam-diam. Kami masyarakat adat sudah bingung. Kami punya aturan-aturan tidak dihargai.”

Teddy Wakum, Direktur LBH Merauke membantah pernyataan pemerintah yang sebut wilayah PSN merupakan kawasan hutan produksi. Karena, ada 10 perusahaan tebu yang masuk di wilayah masyarakat adat, dengan perkiraan luas lebih 500.000 hektar.

Klaim pemerintah ihwal telah konsultasi dengan masyarakat adat pun dia bantah. Soalnya, di sejumlah wilayah yang kini jadi konsesi GPA, masyarakat adat tidak punya pengetahuan tentang informasi dan tujuan dari program PSN.

“Saya bantah apa yang disampaikan pemerintah Indonesia, tidak benar. Kami bicara berdasarkan fakta dan bukti, dan kami hadirkan korban-korbannya,” ujarnya. “Ada marga Gebze, marga Moiwend dan beberapa marga lainnya yang tanahnya diserobot. Terus jawaban pemerintah tidak ada hak yang terlanggar.”

Dorothea Wabiser, Peneliti Yayasan Pusaka, menyatakan, tidak tercatatnya kawasan hutan adat di Provinsi Papua Selatan, seperti pemerintah sampaikan, merupakan bukti ketidakadilan. Karena, proses pengakuan begitu rumit, sementara inisiatif pemerintah rendah.

Kata dia, pemerintah seharusnya mengacu UU Otonomi Khusus Papua yang mengartikan masyarakat adat sebagai masyarakat asli Papua. Dengan konsep itu, tidak ada tanah kosong di Papua. Sebab, tiap tanah adalah tanah adat dan tiap hutan adalah hutan adat.

Tidak adanya pengakuan dari negara, lanjutnya, telah mengancam tanah dan hutan adat pada 4 suku besar (Yeinan, Marind, Kimahima dan Maklew). Hal itu juga yang lahirkan pembenaran pemerintah untuk berikan HGU pada perusahaan.

“Dia (pemerintah) bilang di suratnya, sejauh ini belum ada yang legal sesuai hukum Indonesia, makanya legal-legal saja GPA buka, karena tidak ada (hutan adat Merauke yang diakui).”

Desakan Solidaritas Merauke

Solidaritas Merauke pun bikin sejumlah poin tanggapan atas surat pemerintah pada pelapor khusus PBB. Pertama, tekankan proses FPIC dalam pelaksanaan PSN. Pemerintah harus beri penjelasan tentang proses, dampak dan minta persetujuan dari masyarakat adat.

Kedua, pemerintah Indonesia harus tanggapi pertanyaan pelapor khusus PBB secara lebih jelas. Terutama, menyangkut kesesuaian PSN dengan konstitusi, standar HAM, juga perjanjian-perjanjian internasional tentang keanekaragaman hayati dan konvensi hak masyarakat adat.

Ketiga, membantah informasi yang disampaikan pemerintah yang tidak didasari bukti substansial dan tidak sesuai realitas di lapangan. Keempat, menilai pemerintah enggan selesaikan persoalan.

“Terakhir, meminta pelapor khusus terus memantau seluruh proses dan pelaksanaan PSN di Merauke. Karena banyak juga intimidasi terhadap orang-orang yang berupaya jaga rumah,” kata Dorothea.

Kartini Samon, koordinator GRAIN bilang, pemerintah memandang papua sebagai tanah kosong untuk justifikasi perampasan lahan demi kepentingan korporasi. Lewat berbagai regulasi yang mendukungnya, tindakan ini bukan saja melanggar HAM, tapi juga berpotensi menghapus budaya dan kehidupan masyarakat asli Papua.

Karena itu, katanya, Solidaritas Merauke akan kirimkan tanggapan yang mereka buat pada para pelapor khusus PBB, dan minta lakukan pemantauan secara langsung situasi di Merauke. Apalagi, selama ini, para pelapor khusus sempat punya rencana lakukan kunjungan dan pemantauan langsung di Merauke.

“Jadi kami atas nama Solidaritas Merauke sampaikan tanggapan ini, meminta kesembilan pelapor khusus PBB lanjutkan surat mereka, untuk lakukan pemantauan secara langsung di lapangan, lihat bukti-bukti yang ada.”

URL to Article
https://farmlandgrab.org/post/32919
Source
Mongabay https://mongabay.co.id/2025/06/22/pbb-soal-psn-merauke-koalisi-sebut-respon-pemerintah-tak-jujur/?fbclid=PAQ0xDSwLEodJleHRuA2FlbQIxMAABp9e2GKN2ua-yWZOHX49KpVEetud_QnnWXOFXQS8FkSbhxhEiIOSXOwYv9MZi_aem__B9E0dfuX49XltwrHnkWOw

Links in this article