Gugatan izin lingkungan Suku Awyu mulai sidang, kuasa hukum: Papua bukan tanah kosong
oleh Asrida Elisabeth dan Themmy Doaly
- Setelah tiga bulan mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura, sidang gugatan izin lingkungan Suku Awyu kepada perusahaan sawit memasuki tahap pemeriksaan bukti 6 Juli lalu. Sidang kasus dipimpin Hakim Merna Cinthia, Yusuf Klemen, dan Donny Poja.
- Di Jakarta, pada 11 Juli di Jakarta, dua warga adat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, menjadi saksi dalam sidang gugatan yang diajukan dua perusahaan sawit terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di PTUN Jakarta.
- Di dalam persidangan di PTUN Jayapura, ada sekitar lima peta jadi bukti Walhi dan Yayasan Pusaka. Kelima peta ini antara lain peta hak ulayat Marga Woro yang masuk konsesi PT Indo Asiana Lestari (IAL), dan peta wilayah sungai yang akan terdampak kalau perusahaan beroperasi. Tiga lainnya, peta keanekaragamanhayati di area izin.
- Sebelumnya Hendrikus Woro, marga Woro dari Suku Awyu di Boven Digoel mengajukan permohonan informasi publik ke DMPTSP Papua. Permohonan ini diajukan setelah mereka mendengar ada izin yang terbit kepada perusahaan di wilayah adat Marga Woro. DPMPTSP hanya memberikan izin lingkungan. Pada 13 Maret 2023, Henrikus didampingi kuasa hukum mendaftar gugatan atas izin lingkungan.
Setelah tiga bulan mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura, sidang gugatan izin lingkungan Suku Awyu kepada perusahaan sawit memasuki tahap pemeriksaan bukti 6 Juli lalu. Sidang kasus dipimpin Hakim Merna Cinthia, Yusuf Klemen, dan Donny Poja. Sementara di PTUN Jakarta, Masyarakat Suku Awyu juga ajukan permohonan intervensi atas gugatan dua perusahaan sawit kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hendrikus Woro, mewakili marga Woro dari Suku Awyu di Boven Digoel menggugat Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua, atas izin lingkungan PT Indo Asiana Lestari (IAL). Dalam persidangan ini, kuasa hukum Suku Awyu nmenyerahkan sekitar 50 bukti ke PTUN Jayapura.
“Ada 50 bukti terdiri dari beberapa bukti fisik obyek gugatan, juga beberapa bukti turunan seperti penolakan masyarakat, daftar hadir, dan beberapa peraturan perundang-undangan,” kata Emanuel Gobay, salah satu kuasa hukum Suku Awyu.
Ada 13 bukti dari Walhi, selaku penggugat intervensi satu, dan 11 bukti dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang jadi penggugat intervensi dua.
Di dalam persidangan, ada sekitar lima peta yang jadi bukti Walhi dan Pusaka. Kelima peta ini antara lain peta hak ulayat Marga Woro yang masuk konsesi PT Indo Asiana Lestari (IAL), dan peta wilayah sungai yang akan terdampak kalau perusahaan beroperasi. Tiga lainnya, peta keanekaragamanhayati di area izin.
Persidangan kali ini tanpa bukti dari perusahaan. Mereka akan menyerahkan pada sidang berikutnya.
Persidangan sempat diwarnai perdebatan tentang kerahasiaan alat bukti. Salah satu kuasa hukum perusahaan meminta jaminan majelis hakim agar beberapa bukti yang akan mereka ajukan tidak bisa di-download penggugat untuk kepentingan lain.
Dia beralasan, kasus ini berawal dari sengketa informasi publik dengan perusahaan menolak memberikan beberapa informasi.
Kuasa hukum Awyu sempat mempertanyakan standar kerahasiaan yang dimaksud kuasa hukum perusahaan sawit ini.
Sebelumnya, Hendrikus Woro sempat mengajukan permohonan informasi publik ke DMPTSP Papua. Permohonan ini diajukan setelah mereka mendengar ada izin yang terbit kepada perusahaan di wilayah adat Marga Woro.
DPMPTSP hanya memberikan izin lingkungan. Pada 13 Maret 2023, Henrikus didampingi kuasa hukum mendaftar gugatan atas izin lingkungan.
Izin lingkungan itu dinilai catat prosedural karena tak melibatkan pemilik ulayat dan cacat substantif karena tak disertai analisis konservasi.
Kawal persidangan
Sementara itu, pada 11 Juli di Jakarta, dua warga adat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, menjadi saksi dalam sidang gugatan yang diajukan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di PTUN Jakarta.
Kesaksian di persidangan ini kelanjutan dari permohonan intervensi yang didaftarkan Masyarakat Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari konsesi perusahaan sawit.
Dua wakil Orang Awyu yang jadi saksi, Gergorius Yame dan Hendrikus Woro. Mereka mengenakan pakaian adat dan membawa sejumlah hasil hutan seperti sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung ke persidangan.
Benda-benda tadi merupakan bukti bahwa hasil hutan sangat penting bagi kehidupan sehari-hari Suku Awyu.
Hendrikus menerangkan eratnya hubungan antara masyarakat adat Awyu dengan ruang hidup di sekitar mereka. Tiap marga – struktur di bawah suku dan klan – , punya wilayah dengan tata batas masing-masing yang diwariskan leluhur mereka. Tidak ada wilayah adat dengan status kepemilikan pribadi. Karena itu, tak seorang pun di suku itu boleh menjual tanah.
Larangan itu juga berlaku bagi Hendrikus, yang merupakan Ketua Marga Woro. Kewenangan ketua marga sebatas mengawasi dan mengatur jalannya musyawarah penyerahan tanah. Dia contohkan, lewat tradisi yang dinamakan ‘harta perempuan’.
‘Harta perempuan’ adalah seserahan pengganti uang dalam tradisi perkawinan Suku Awyu. Kalau keluarga pengantin pria tidak punya benda pusaka untuk diserahkan pada keluarga perempuan, maka marga bisa bermusyawarah untuk memberikan sedikit tanah.
“Tapi (penyerahan ‘harta perempuan’) tidak bisa berlebihan. Saya sebagai pemimpin marga, juga tidak bisa suka-suka menyerahkan tanah ke orang lain tanpa sepengetahuan marga saya,” ujar Hendrikus.
Aturan-aturan itu menjadi cara menjaga keberadaan hutan, yang penting untuk cari makan dan memenuhi kebutuhan hidup.
Hendrikus membawa batang pohon nibung sebagai contoh Suku Awyu hidup dari hutan. Pelepah pohon itu untuk membuat tikar, pucuk untuk sayur dan garam Papua. Isi batang jadi obat batuk. Batang jadi lantai rumah, daun untuk bungkus sagu juga membangun bivak.
Karena itu, ketika mendengar informasi wilayah adat mereka masuk dalam perkebunan sawit, masyarakat Awyu keberatan. “Hutan sumber kehidupan. Adanya perusahaan mau masuk, kami benar-benar menolak,” kata Hendrikus.
Gregorius Yame, juga mengungkap kekhawatiran kalau perkebunan sawit merusak sungai-sungai di sana. Sungai, katanya, tempat bagi Suku Awyu memenuhi kebutuhan air minum.
“Di sana kita tidak biasa rebus air. Kami timba, langsung minum. Kalau ada perusahaan sawit, sungai itu akan rusak.”
Mongabay berupaya mewawancarai pengacara dari kedua perusahaan yang hadir dalam persidangan itu. Namun, mereka enggan memberi keterangan.
Papua bukan tanah kosong
Sekar Banjaran Aji, salah satu kuasa hukum Suku Awyu menilai, keterangan Masyarakat Awyu itu membuktikan wilayah yang disengketakan ada penghuninya. Terungkap juga, masyarakat menolak perkebunan sawit karena memang menggantungkan hidup pada hutan yang sehat.
“Papua bukan tanah kosong. Hutan Papua berfungsi dengan baik, dan berlaku sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat adat, baik di dalam hutan maupun sekitar hutan,” katanya.
Kehadiran perusahaan sawit, katanya, tanpa konsultasi dan persetujuan seluruh masyarakat adat, akan membahayakan lingkungan maupun manusia-manusia di dalamnya.
Catatan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua menyebut, 8.828 hektar hutan masyarakat adat telah dibuka PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Keterlibatan Masyarakat Adat Awyu sebagai tergugat intervensi diharapkan dapat menyelamatkan 65.415 hektar hutan.
Pada 10 Maret 2023, MJR mendaftarkan gugatan. Perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri LHK tentang penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan atas perusahaan itu di Boven Digoel. Lima hari berselang, 15 Maret 2023, KCP juga membuat gugatan serupa.
“Jika putusan berhasil dibatalkan sesuai permohonan mereka, dampaknya bisa merusak lebih banyak hutan. Itu berarti kehancuran bagi sumber kehidupan masyarakat Suku Awyu,” kata Sekar.