Aksi mogok petani plasma kebun sawit PT HIP - Buol
Penulis : Gilang Helindro
Konflik antara petani plasma dengan PT Hardaya Inti Plantations (HI)P di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, kembali meletup hari ini, 8 Januari 2024. Petani pemilik lahan program plasma perkebunan sawit mitra PT HIP melakukan aksi penghentian operasional kebun plasma, karena dianggap merugikan petani plasma.
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan, aksi ini dilakukan karena selama ini upaya perjuangan petani pemilik lahan untuk mendapatkan keadilan terus mendapatkan hambatan, dan konflik. “Termasuk rencana penghentian operasional kebun plasma yang saat ini dilakukan juga mendapat penentangan dan upaya penggagalan,” kata Fatrisia saat dihubungi Senin, 8 Januari 2024.
Fatrisia mengungkapkan, pihak PT HIP dikabarkan telah menemui pengurus koperasi agar mereka menghentikan aksi pemilik lahan yang melakukan penghentian operasional kebun. Bahkan, kata Fatrisia, pihak yang mengaku dari PT HIP itu menjanjikan hadiah yang cukup fantastis bagi pengurus koperasi yang tidak ikut serta dan bisa menghentikan aksi.
“Sebelumnya juga terdapat laporan dari pemilik lahan telah didatangi seseorang yang mengaku dari pihak kepolisian, yang meminta agar tidak melakukan aksi penghentian operasional kebun plasma,” ungkap Fatrisia.
Fatrisia menyebut, pendekatan yang dilakukan PT HIP tersebut sangat disayangkan. Seharusnya PT HIP dapat mengedepankan pendekatan dialogis dan beritikad baik untuk menyelesaikan masalah kemitraan ini.
“Kami mengkhawatirkan pilihan pendekatan yang diambil PT HIP lebih cenderung menggunakan pengerahan kekuatan dan pelibatan aparat keamanan dalam menyelesaikan masalah kemitraan,” ungkap Fatrisia.
“Kami juga berharap kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk memahami masalah kemitraan inti-plasma ini secara adil dari kedua belah pihak, dan tidak mudah diminta oleh pihak PT HIP yang pada akhirnya justru akan menjadi masalah baru seperti halnya yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah baru-baru ini,” ungkap Fatrisia.
Rantai Pasok PT HIP
Menurut Fatrisia, berdasarkan dokumen Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, PT HIP adalah perseroan tertutup dengan nomor Surat Keputusan Pengesahan C2-895.HT.01.01.TH.1996 yang bergerak di bidang perkebunan dan industri sawit. Menteri LHK pada 2018 menerbitkan SK MenLHK 517/2018 yang memberikan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit PT HIP.
Salah satu kritik terhadap SK tersebut kata Fatrisia adalah sama sekali tidak memuat informasi tentang status kawasan hutan yang dilepas, apakah merupakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang produktif atau nonproduktif. Hal ini menjadi perhatian karena berdasarkan Peraturan tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, No. 96 Tahun 2018 Pasal 41 ayat (6), hanya kawasan hutan non-produktif saja yang dapat dilepaskan.
Dalam laporan Sawit Watch, SK MenLHK 517/2018 tentang Pelepasan Kawasan Hutan PT HIP patut diduga keras telah melanggar Inpres Moratorium Sawit dan UU P3H.
Berdasarkan Traceability Summary Wilmar, melalui PT Multi Nabati Sulawesi, Bitung, pada periode Juli 2020-Juni 2021 PT HIP termasuk salah satu pemasok (supplying mills) Wilmar yang menyuplai secara langsung. Hal ini juga terjadi pada periode Januari-Desember 2019.
Selain itu, produk hasil PT HIP juga masuk melalui Musim Mas. Melalui Musim Mas, PT HIP termasuk dalam daftar pemasok minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK) pada rentang periode Oktober - Desember 2022.
PT HIP juga termasuk dalam daftar perusahaan yang muncul dalam rantai pasokan perusahaan No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE) melalui pembelian spot (spot purchases). Pembelian spot adalah pembelian satu kali yang biasanya dilakukan oleh pedagang untuk menutupi kekurangan pasokan di kilang mereka. Pembelian spot dilakukan di luar kontrak jangka panjang dan seringkali hanya diketahui jika kasusnya diangkat ke publik dan pembeli memberikan penjelasan melalui pernyataan atau daftar keluhannya.
Beberapa perusahaan yang tidak patuh atau ditangguhkan muncul dalam rantai pasokan perusahaan NDPE melalui pembelian spot, yang mana salah satunya adalah PT HIP. Pasokan dari pembelian spot PT HIP termasuk dalam rantai pasokan Sime Darby. Berdasarkan data tersebut ketidakpatuhan pertama (date of first noncompliance) terjadi pada Desember 2017. Pada kuartal pertama 2018, Sime Darby melaporkan kasus tersebut dalam daftar keluhannya dan sejak periode tersebut Sime Darby menyatakan bahwa bahan baku dari PT HIP tidak lagi termasuk dalam supply chain-nya.
Walaupun begitu masih terdapat perusahaan lainnya yang menjadi supplier PT HIP untuk masuk ke pasar Amerika. Hal ini terlihat dari terdapatnya PT. HIP dalam daftar perusahaan yang menjadi pemasok untuk Nestlé. Perusahaan yang menjadi supplier bagi minyak kelapa sawit PT HIP ke Nestlé di antaranya adalah Bunge Loders Croklaan (di Brazil, Channahon, Rexdale, dan Sandston) dan Nisshin Oillio yang termasuk dalam perusahaan utama The Nisshin Ollio Group, LTD.
Berdasarkan laporan yang sama, seluruh supply yang dipasok kedua supplier tersebut kepada Nestlé dihasilkan dari pabrik PT HIP di Kabupaten Buol. Dalam laporan yang dipublikasi pada Juli 2021, Danone juga tercatat menerima minyak kelapa sawit dari PT HIP. Selain Nestlé dan Danone, perusahaan besar lainnya yang juga masih menjadi pembeli/pedagang hilir minyak kelapa sawit hasil produksi PT HIP berdasarkan penelitian tahun 2021 lalu adalah PepsiCo, Wilmar, Cargill (melalui ADM), AAK melalui Wilmar, dan Unilever di 2019.
Upaya Menuntut Hak
Fatrisia Ain, menambahkan, banyak upaya yang ditempuh masyarakat untuk menuntut hak mereka terpenuhi. Untuk mengatasi persoalan kemitraan antara PT HIP dan Koperasi Petani Plasma itu, misalnya, DPRD Kabupaten Buol telah membentuk Panitia Khusus Pencari Fakta. “Namun apa yang dihasilkan pansus tidak sesuai harapan, tidak bekerja optimal, dan tidak menghasilkan rekomendasi-rekomendasi konkret yang dapat menyelesaikan masalah,” katanya.
Sebelumnya, mantan Bupati Buol periode 2017-2022, Amirudin Rauf mengatakan perkebunan sawit yang besar tidak akan memberikan apa-apa, justru mendatangkan kemudaratan. Lebih banyak kemudaratan dari manfaatnya. Masuknya modal pada sektor sumber daya alam di perkebunan besar tidak akan menciptakan kesejahteraan tapi hanya akan mewariskan kemiskinan kepada generasi penerus.
“Di situlah pentingnya negara hadir dalam mengelola sumber daya alam. Negara harus berada di tengah-tengah dan jika bisa berpihak ke rakyat,” kata Amirudin, di pertengahan tahun lalu, dalam Konferensi Pers Menuntut Tanggung Jawab PT HIP Dalam Pemenuhan Hak-hak Petani Plasma di Kabupaten Buol, Sulteng.
Amirudin menyebut, sekarang adalah saatnya masyarakat Buol menerima kembali apa yang menjadi hak mereka. Semua pihak termasuk Pemerintah Daerah dan DPRD Buol harus turun tangan perjuangkan nasib masyarakat. Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran cukup untuk mengawal kasus ini, agar masyarakat mendapatkan keadilan. Karena hanya dengan dukungan pemerintah perjuangan ini akan berjalan. “Jangan keluarkan rekomendasi kepada perkebunan besar karena akan mendatangkan bencana dan mewariskan kemiskinan,” ungkap Amirudin.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan penyelesaian konflik ada pada niat baik dari PT HIP. “Jika ada transparansi dari PT HIP, terkait proses penyelesaian konflik akan mudah,” kata Achmad Surambo, Senin, 8 Januari 2024.
Masyarakat sampai saat ini tidak mendapat informasi jumlah utang. “Harusnya pemerintah daerah, bersama DPRD mendesak pansus untuk benar-benar bekerja dengan mandat yang diberikan,” ungkap Achmad Surambo.
Achmad Surambo menambahkan salah satu bentuk konflik tenurial yang sangat tinggi di perkebunan sawit adalah konflik kemitraan. Hal ini akan terus meningkat jika pemerintah tidak mempunyai mekanisme yang efektif dan efisien dalam penyelesaian kasus.
Sawit Watch mencatat, terdapat sebanyak 1073 kasus konflik sosial di perkebunan sawit Indonesia. Pendataan tipologi konflik ini dibagi menjadi beberapa kelompok, pertama konflik tenurial 57 persen, kedua konflik antara isu 34,3 persen dan ketiga konflik kemitraan 8,7 persen.
“Konflik tenurial mendominasi konflik di perkebunan,” ungkap Achmad Surambo.
Konflik kemitraan di PT HIP merupakan salah satu bentuk pembiaran penyelesaian konflik kemitraan oleh para pemangku kebijakan. Jangan sampai kasus ini berlarut-larut dan menimbulkan dampak merugikan yang semakin besar bagi banyak pihak.
“Salah satu hal yang perlu dikembangkan adalah usaha skala kecil yang dimiliki petani kecil bukan besar, perusahaan cukup berada di hilir dan bukan berbasis lahan,” kata Achmad Surambo.