Kompas | 17 Mei 2024
Kekerasan negara atas nama ”Food Estate”oleh Uli Arta Siagian
food estate kembali diusung presiden-wakil presiden terpilih dalam spirit keberlanjutan.
Pemilu 2024 telah usai dan konsep Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan juga membawa topik ini dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, 26 April 2024, di Labuan Bajo, Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Ia mengaku belum puas terhadap pelaksanaan food estate (lumbung pangan) di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang dinilai terlalu lambat. Ia berharap dalam enam bulan ke depan kerja sama hortikultura dengan China mulai diinisiasi secara bertahap, mulai dari 100.000 hektar, diawali dengan kerja sama riset untuk berbagai tanaman pangan, seperti padi, bawang, cabai, dan durian.
Sebelumnya, pada awal Februari 2024, pemerintah melalui Asisten Deputi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Kemenko Perekonomian Suroto menyatakan sejumlah wilayah tengah dipertimbangkan sebagai lahan food estate baru, yakni Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sumatera Selatan.
Food estate yang sudah dan akan dikerjakan di beberapa wilayah Indonesia itu seolah menjanjikan ketersediaan pangan berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, di balik semua janji manis ini, banyak sisi gelap perlu dipertimbangkan secara serius.
Melenyapkan hutan
Sesungguhnya, sebelum Pilpres 2024 berlangsung, setidaknya ada tujuh kajian yang terkait langsung dengan food estate (program yang dimulai pemerintah pada 2020), yang dirilis oleh beberapa lembaga nonpemerintah (NGO) dan lembaga lainnya yang peduli terhadap lingkungan.
Semua kajian itu memperlihatkan bahwa food estate lebih banyak membawa kerugian, bahkan kekerasan, terhadap masyarakat dan lingkungan dibandingkan dengan manfaatnya. Semua kajian itu tidak satu pun dilirik para calon presiden.
Kajian pertama berjudul ”Menelan Hutan Indonesia” disusun oleh Environmental Paper Network, Pusaka, GRAIN, Walhi Papua, Greenpeace, Global Forest Coalition, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Biofuel Watch, dan Rainforest Rescue. Kajian dirilis pada Maret 2021.
Kajian lainnya adalah ”Food Estate: Menakar Politik Pangan Indonesia (Kajian atas Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah)” disusun oleh Walhi Kalimantan Tengah (2021).
Ada pula kajian ”Food Estate: Perampasan Kontrol dan Indikasi Pelanggaran Hak atas Pangan dan Gizi (Laporan Studi Pelaksanaan Proyek Food Estate di Sumatera Utara)” disusun oleh FIAN Indonesia, KSPPM, Bitra Indonesia, Petrasa, dan Konsorsium Pembaruan Agraria. Kajian ini dirilis pada Februari 2022.
Kajian yang sama dilakukan Walhi Sumatera Utara dan Serikat Petani Indonesia pada 2021, berjudul ”Ilusi Pembangunan Food Estate di Sumatera Utara”.
Ada pula ”Kertas kerja Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan” dari Walhi pada 2021.
Lalu, kajian ”Membangkang Konstitusi, Mewariskan Krisis Antar Generasi” juga disusun oleh Walhi pada 2022. Satu lagi, kajian berjudul ”Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia, Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan” dari Cifor pada Oktober 2021.
Semua kajian itu memperlihatkan adanya ancaman terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, dan kehidupan rakyat atas hak pangan dan hak atas ruang hidup.
Program ini merambah hutan-hutan primer, menempatkan beberapa spesies unik, seperti orang utan di Kalimantan, dalam risiko kepunahan. Kawasan atau lahan lumbung pangan yang diusulkan, meliputi lahan adat dan gambut, dapat menyebabkan emisi CO2 yang signifikan dan meningkatkan risiko kebakaran.
Informasi terbatas dari Pemerintah Indonesia mengindikasikan adanya tiga usulan proyek food estate yang keseluruhan membutuhkan lahan sekitar 770.000 hektar di Kalimantan Tengah, 2 juta hektar di Papua, dan 32.000 hektar di Sumatera Utara.
Lahan untuk proyek-proyek ini akan melenyapkan hutan dari ”hutan permanen” untuk peruntukan lainnya (tersirat akan terjadinya deforestasi).
Kalaupun tak membabat hutan permanen, food estate diproyeksikan memanfaatkan lahan gambut. Lahan gambut yang dipakai untuk food estate itu posisinya dangkal, kedalamannya kurang dari 50 sentimeter. Para ahli berpendapat bahwa gambut dangkal juga mengakibatkan emisi CO2 dan berisiko untuk terbakar. Hanya membutuhkan beberapa tahun saja sebelum emisi itu menguap dan menjadi gas rumah kaca yang menyesakkan atmosfer.
Langgar hak masyarakat lokal dan adat
Program food estate ini juga tidak mengindahkan hak-hak atas tanah masyarakat lokal dan adat. Sebelumnya, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, dan memasukkan food estate menjadi salah satu program strategis nasional.
Setelah Undang-Undang Cipta Kerja ditetapkan, food estate menemukan titik kemendesakannya untuk dijalankan oleh pemerintah. Hal ini membuat food estate lebih penting daripada keselamatan lingkungan, keselamatan rakyat, dan perlindungan terhadap kedaulatan pangan itu sendiri.
Bahkan, sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) telah menyebabkan berbagai konflik dengan masyarakat adat yang tanahnya telah diserahkan kepada perusahaan transnasional tanpa konsultasi dengan mereka.
Hal ini dinyatakan dalam surat terbuka tertanggal 18 Desember 2012 oleh 23 anggota kelompok masyarakat adat dari Baidub, Boha, Bupul, Erambu, Kindiki, Kweel, Muting, Pachas, Poo, dan Desa Tanas yang menandatangani tuntutan dan aspirasi masyarakat adat di Kali Ban-Kali Maro, Merauke, Papua. Mereka mempertanyakan sewa tanah mereka oleh pemerintah kabupaten.
Kekecewaan rakyat atas program ini tidak saja karena tidak adanya konsultasi, tetapi juga karena sebagian besar lahan yang dialihfungsikan malah tidak ditanami komoditas pangan, seperti menjadi perkebunan atau industri.
Food estate di Papua mungkin sangat sedikit berhubungan dengan pangan. Hanya sedikit lahan yang digunakan untuk sawah. Hasil dari proyek serupa sebelumnya menunjukkan dibukanya lebih banyak lahan untuk usaha semacam perkebunan komoditas ekspor (minyak sawit, serat kayu, termasuk kemungkinan untuk tebu).
Program ini juga mengikis komoditas pangan lokal karena berkurangnya lahan menanam tanaman pangan tradisional masyarakat setempat. Food estate hanya mengizinkan konversi ke perkebunan industri, bukan untuk petani lokal.
Pembukaan lahan di Papua untuk lumbung pangan bisa membuat masyarakat adat kehilangan kebun dan sumber makanan penting lainnya, seperti tempat berburu dan dusun sagu. Secara logika, bisakah diterima: lahan kehidupan warga digusur untuk kebun pangan skala besar yang dimiliki pengusaha?
Aspek buruk lainnya adalah bahwa pengembangan food estate membutuhkan dana besar. Ini yang hampir pasti harus dicari dengan utang dari korporasi swasta, negara lain, atau lembaga keuangan internasional. Hal ini meningkatkan ketergantungan eksternal Indonesia dan meningkatkan risiko utang yang besar.
Sebagai catatan, proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah saja membutuhkan biaya Rp 68 triliun. Untuk biaya infrastruktur, diperkirakan sudah menelan dana Rp 6,7 triliun. Dana ini belum terkumpul dan kemungkinan akan didapatkan dari bank swasta atau negara dan lembaga keuangan internasional.
Pada Juni 2016, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), yang merupakan pihak pemberi dana pada Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) China, mengumumkan empat pinjaman. Pada 2017 telah disetujui dana 100 juta dollar AS atau setara Rp 1,4 triliun lagi untuk ikut membiayai Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah Indonesia dengan Bank Dunia melalui perantara keuangan, yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur yang menyediakan pinjaman bagi proyek-proyek infrastruktur yang layak secara ekonomis.
Tak kalah unik adalah menunjuk Kementerian Pertahanan sebagai pelaksana program lumbung pangan. Ini memunculkan dugaan keterlibatan militer dalam pengelolaan food estate, menimbulkan kekhawatiran militerisasi sektor pertanian. Pertanyaan besarnya, jika program ini dipaksakan direalisasikan, kenapa tidak di bawah kendali Kementerian Pertanian? Ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan proyek tersebut.
Kekerasan negara atas nama pangan
Pada akhirnya, dalam pelaksanaannya, program lumbung pangan yang melambungkan janji mimpi ketahanan pangan masih menghadapi banyak tantangan dalam soal penyediaan pangan yang berkualitas, khususnya bagi masyarakat lokal yang bergantung pada tanaman dan sumber daya alam setempat. Pemakaian sebagian besar lahan yang digunakan untuk perkebunan atau industri ternyata justru mengancam ketahanan pangan lokal.
Membangun kedaulatan pangan seharusnya tidak memisahkan rakyat dari tanahnya. Memindahkan produsen pangan dari petani ke sistem korporasi justru akan membawa kerentanan bagi negara. Ini seperti halnya kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi akibat digantinya budaya minyak kelapa ke sawit yang dimonopoli perusahaan.
Aspek lain yang luput dari perhatian pemerintah adalah perihal ekosistem gambut. Gambut ditargetkan menjadi lahan monokultur dari masa Soeharto karena dianggap tidak produktif. Padahal, dari kajian buku Ekonomi Nusantara Walhi, ada 77 jenis mata pencarian rakyat di ekosistem perairan gambut, 32 jenis di antaranya berkaitan dengan ikan.
Pemaksaan untuk mengubah ekosistem perairan gambut menjadi daratan telah menurunkan populasi kerbau hingga satu juta ekor dan membuat produksi ikan air tawar di lima provinsi menurun.
Program ini membawa dampak negatif yang serius terhadap lingkungan, masyarakat lokal, dan kedaulatan pangan. Diperlukan pendekatan yang lebih hati-hati dan inklusif dalam perencanaan dan pelaksanaan food estate, dengan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal dan dampak lingkungan yang mungkin timbul.
Jangan korbankan ladang warga untuk komoditas raksasa yang dikelola secara masif. Jika dilakukan, ia hanya akan merepresentasikan kekerasan negara atas nama pangan.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi