13 alasan koalisi masyarakat tolak RUU Pertanahan

Tempo| 23 Juli 2019

13 alasan koalisi masyarakat tolak RUU Pertanahan

Medium_855422_720
Konferensi Pers 'Tunda Pengesahan RUU Pertanahan' di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Minggu, 14 Juli 2019. Foto: TEMPO/Andita Rahma
Sejumlah koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang atau RUU Pertanahan oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, masih banyak permasalahan substansi dalam RUU Pertanahan ini yang bertentangan reformasi agraria. Selain itu, mereka menilai rancangan aturan ini belum mengakomodir pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik.

"Draf terakhir RUU Pertanahan per tanggal 22 Juni 2019 belum dapat menjawab ekspektasi masyarakat dan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria," kata Rukka dalam keterangan tertulis dikutip Selasa, 23 Juli 2019.

Padahal, kata Rukka, RUU ini awalnya diharapkan menjawab berbagai persoalan dan konflik agraria di Indonesia. RUU ini pun diharapkan dapat mengatur pengelolaan tanah dengan mempertimbangkan sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Pemerintah juga berharap adanya RUU ini melengkapi Undang-undang Pokok Agraria yang dinilai belum dapat menjawab permasalahan aktual pertanahan.

Rukka membeberkan, ada 13 alasan koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan dan pengesahan RUU Pertanahan tersebut, yakni sebagai berikut.

1. Pembahasan RUU Pertanahan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat sipil

Rukka mengatakan organisasi masyarakat sipil belum dilibatkan secara memadai dalam pembahasan RUU ini. Dia berujar, upaya organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan dalam rapat dengar pendapat umum justru tidak diberikan.

Selain itu, mengingat RUU ini banyak kaitannya dengan isu sektor lain seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, ekonomi, transparansi, Rukka berpendapat semestinya DPR dan pemerintah melakukan proses konsultasi publik secara luas.

2.RUU Pertanahan tidak merespon ketimpangan struktural penguasaan tanah

Menurut Rukka, di dalam RUU Pertanahan tidak ada pengaturan atas perombakan penguasaan tanah yang selama ini telah terjadi. RUU ini juga memperluas peluang monopoli dengan tidak diberlakukannya pembatasan penguasaan tanah.

"RUU Pertanahan juga hendak menegaskan kembali domein verklaring melalui Status Tanah Negara, yang dahulu digunakan pemerintah kolonial untuk merampas tanah-tanah masyarakat," kata dia.

3. RUU Pertanahan memicu terjadinya korporatisasi dan komodifikasi tanah

Rukka menyoroti keberadaan Bank Tanah yang hendak diatur di RUU Pertanahan ini. Menurut dia keberadaan Bank Tanah perlu diantispasi agar tak menjadi alat komodifikasi dan pasar tanah.

Apalagi, kata dia, jika Bank Tanah diberikan kewenangan seperti halnya pemerintah dalam perencanaan, perolehan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah, serta pengelolaan keuangan dan aset lainnya dalam rangka mencari keuntungan. "Bank Tanah akan meningkatkan konflik agraria," kata dia.

4. RUU Pertanahan belum memperhatikan perlindungan ekosistem

Rukka mengatakan RUU Pertanahan belum berbicara mengenai inventarisasi tanah berdasarkan kondisi atau fungsi tanah yang akan berpengaruh pada pengelolaannya. Misalnya, tanah bergambut yang pemanfaatannya terbatas oleh fungsi lindungnya.

"Pengelolaan tanah yang hanya memandang tanah sebagai sebidang lahan yang dapat menjadi komoditas akan mengakibatkan tidak selarasnya kebijakan pertanahan dengan kebijakan perlindungan lingkungan hidup," ucap Rukka.

5. RUU Pertanahan berpotensi menyebabkan terjadinya perampasan hak atas tanah atas nama perubahan tata ruang dan kepentingan umum

Ruka menjelaskan pengadaan tanah untuk kepentingan umum selama ini menjadi alasan yang sering digunakan untuk merampas hak atas tanah masyarakat. RUU Pertanahan ini, kata dia, juga tak memberikan kriteria jelas mengenai apa itu kepentingan umum.

Koalisi menganggap RUU ini malah memberikan peluang dalam keadaan memaksa dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah jika tanah masyarakat tidak sesuai dengan tata ruang. "Sekali lagi, keadaan memaksa ini pun tidak mempunyai kriteria yang jelas," kata dia.

6. RUU Pertanahan mengabaikan persoalan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang selama ini terjadi

Koalisi menganggap ada beberapa permasalahan terkait pengaturan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam RUU Pertanahan, antara lain inventarisasi hak ulayat yang bersifat pasif,yakni  hanya masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan tanah adatnya, sementara secara konstitusi harusnya negara yang proaktif mendata dan memberikan pengakuan tersebut.

Kemudian, RUU Pertanahan mengatur bahwa pengakuan masyarakat hukum adat dilakukan oleh menteri berdasarkan rekomendasi pemerintah daerah. Ini dinilai akan lebih menyulitkan dibandingkan praktik sekarang yang mendelegasikan pengakuan masyarakat hukum adat kepada pemerintah daerah. Ketiga, ketentuan mengenai pemberian hak lain di atas wilayah adat serta status tanah ketika hak tersebut berakhir.

7. RUU Pertanahan belum mengatur secara komprehensif mengenai penyelesaian konflik agraria

Menurut Rukka, RUU Pertanahan masih memakai pendekatan legal formal melalui pengadilan untuk konflik agraria yang terjadi. Padahal penyelesaian konflik agraria butuh mekanisme dari hulu ke hilir dari mulai inventarisasi penguasaan tanah secara de facto dan de juresiapa menguasai berapa luas dan di mana.

Hal tersebut dianggap penting guna mengetahui kondisi penguasaan tanah Indonesia yang sesungguhnya. Selain itu, pemerintah akan terbantu dalam proses identifikasi subyek obyek priorotas redistribusi tanah. "Dengan menggunakan pengadilan beserta hukum acara, pembuktian akan bias dengan kebenaran lapangan," kata Rukka.

8. RUU ini belum menjawab persoalan dualisme kewenangan pengelolaan administrasi pertanahan

RUU ini mengatur mengenai kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam mengatur urusan pertanahan lintas sektoral. Namun Rukka berpandangan perlu ada klarifikasi bagaimana hubungan kewenangan Kementerian ATR/BPN dengan kementerian sektoral lainnya. 

Kata dia, single land administration yang didengungkan dalam RUU Pertanahan perlu diletakkan tidak sebagai ansich pengadministrasian, namun perbaikan tata kelola tanah nasional. "Pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana dampak dari mereduksi kewenangan suatu kementerian/lembaga di masa yang akan datang," ucapnya.

9. RUU Pertanahan tidak mengatur secara komprehensif mengenai pelanggaran hukum yang terjadi.


Koalisi masyarakat sipil mengatakan isu pencabutan hak atas tanah sekadar isu pelanggaran prosedural izin, bukan termasuk pelanggaran substansi penggunaan objek tanah atau fungsinya. Misalnya atas pelanggaran-pelanggaran penggunaan tanah yang tidak sesuai peruntukan termasuk pembukaan lahan tanpa bakar. "Tidak ada konsekuensi hukum bagi pelanggaran fungsi terhadap hak atas tanah," kata dia.

10. RUU Pertanahan akan melegalkan atau memberikan impunitas berbagai perampasan tanah dan pelanggaran RTRW maupun Kawasan Hutan

Rukka menuturkan, RUU Pertanahan berpotensi melegalkan penguasaan tanah bahkan jika HGU itu berada di dalam kawasan hutan. Dia menilai hal ini tak mengatasi persoalan bahwa selama ini telah banyak pemberian izin usaha yang masuk ke kawasan hutan.

11. RUU Pertanahan tidak ingin menyelaraskan regulasi pertanahan yang saling tumpang tindih

Sebagai mana mandat TAP MPR No. XI Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam, kata Rukka, pemerintah harusnya melakukan kajian dan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan agar tidak saling tumpang tindih. "Namun tidak ada satu pasal pun yang mengatur hal demikian," ujarnya.

12. RUU Pertanahan tidak mengatur jaminan keterbukaan informasi
Koalisi menyatakan bahwa tertutupnya data dan informasi pertanahan telah berlangsung lama. Rukka menyebut ketertutupan di sektor pertanahan telah mengakibatkan banyak persoalan tumpang tindih. Tak cuma itu, tidak terbukanya informasi pertanahan melemahkan kontrol publik atas pengaturan dan peruntukan tanah.

"Seharusnya, RUU Pertanahan memandatkan publikasi secara proaktif mengenai data atau informasi pertanahan yang perlu diketahui oleh masyarakat," kata dia.

13. RUU Pertanahan tidak memperhatikan kepentingan keagamaan

Koalisi memiliki beberapa catatan yang potensial berbenturan dengan keagamaan karena tidak diaturnya jaminan perlindungan dan kepastian hak waris dan wakaf. Pengaturan-pengaturan tentang wakaf dapat dijajaki sebagai salah satu skema alternatif dalam redistribusi tanah.

"Sayangnya, RUU Pertanahan belum mengatur hal ini meskipun salah satu tujuannya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah," kata Rukka.

 

 

 

 

Who's involved?

Whos Involved?


  • 13 May 2024 - Washington DC
    World Bank Land Conference 2024
  • Languages



    Special content



    Archives


    Latest posts